MAKALAH
HUBUNGAN GANGGUAN BERBAHASA
DENGAN
SIKAP BERBAHASA
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Psikolinguistik
Disusun Oleh :
1. Ayu Wahyuni (2108090040)
2. Rahmawati (2108090278)
3. Teni Setiani (2108080182)
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(FKIP)
UNIVERSITAS GALUH CIAMIS
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas petunjuk, kekuatan, rahmat dan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini bisa terselesaikan. Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini tidak akan terwujud tanpa adanya bantuan, bimbingan, motivasi dari beberapa pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih, kepada :
1. Bpk. H. Herdiana, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Psikolinguistik, yang telah memberikan motivasi, saran, masukan dan ilmu yang beliau berikan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sebagai tugas akhir semester.
2. Orang tua kami (Ayu Wahyuni, Rahmawati dan Teni Setiani) yang telah senantiasa selalu mendoakan kami sehingga tugas ini bisa selesai pada waktunya tanpa gangguan yang berarti. Bagaimanapun ridha orang tua adalah ridha Alloh SWT.
3. Semoga anggota yang ikut menyusun makalah ini (Ayu Wahyuni, Rahmawati, dan Teni Setiani).
Semoga amal kebaikannya akan mendapat imbalan dari Allah SWT, amin. Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dan kelemahan dalam makalah yang kami buat ini, untuk itu kami menerima dengan senang hati apabila ada kritikan dari pihak manapun sehingga dapat membangun kemampuan kami dan terus berusaha dan belajar dari kesalahan.
Akhirnya kami berdoa semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Ciamis, 17 Juni 2011
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar............................................................................. i
Daftar Isi...................................................................................... ii
Bab I Pendahuluan....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang........................................................................ 1
1.2 Pokok Masalah........................................................................ 1
1.3 Tujuan...................................................................................... 2
1.4 Manfaat Penelitian................................................................... 2
Bab II Landasan Teoritis............................................................... 3
Bab III Pembahasan...................................................................... 7
3.1 Macam-macam Gangguan Berbahasa..................................... 7
3.2 Sikap Berbahasa (Language Attitude).................................... 9
Bab IV Penutup............................................................................ 10
4.1 Simpulan................................................................................. 13
Daftar Pustaka............................................................................... 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah salah satu ciri khas manusiawi yang membedakannya dengan makhluk yang lain. Selain itu, bahasa mempunyai fungsi sosial, baik sebagai alat komunikasi maupun sebagai suatu cara mengidentifikasi kelompok sosial. Para ahli bahasa mulai sadar bahwa pengkajian bahasa tanpa mengkaitkannya dengan masyarakat akan menhesampingkan beberapa aspek yang penting dan menarik, bahkan mungkin menyempitkan pandangan terhadap disiplin bahasa itu sendiri. Sosiolinguistik dan Psikolinguistik adalah gabungan ilmu yang mengkaji bahasa, sosiolinguistik mengkaji bahasa dalam penggunaannya berhubungan dengan masyarakat atau sosial, sedangkan psikolinguistik yang merupakan kajian antara psikologi dan linguistik.
Bahasa selain berfungsi sebagai alat komunikasi untuk melangsungkan kegiatan sosial di masyarakat yang bertujuan menyampaikan pesan dari apa yang disampaikan, juga merupakan sesuatu masalah yang kompleks dan rumit jika dikaji lebih jauh. Pembelajaran bahasa selain berkenaan dengan masalah bahasa, juga berkenaan dengan masalah kegiatan berbahasa. Sedangkan kegiatan berbahasa itu terjadi bukan hanya berlangsung secara mentalistik tetapi juga secara mekanistik.
Dalam makalah ini kami akan mengkaji “Hubungan Gangguan Berbahasa dengan Sikap Berbahasa”. Ilmu Sosiolinguistik dan Psikolinguistik akan kami gabungkan dan hubungkan sehingga menemukan apa hubungan gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa.
1.2 Pokok Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis membatasi masalah dengan perumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana gangguan berbahasa itu ?
2. Bagaimana sikap berbahasa itu ?
3. Bagaimana hubungan gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa ?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini yaitu memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikolinguistik. Dan juga untuk menambah wawasan dan pengetahuan yang khususnya untuk penulis dan umumnya untuk para pembaca mengenai bahasan hubungan gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian mengenai gangguan berbahasa yaitu penulis bisa mengetahui dengan rinci dan jelas, apa yang disebut dengan gangguan berbahasa dan juga sikap berbahasa serta bagaimana hubungannya gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa. Sehingga penulis mempunyai banyak ilmu atau bekal mengenai pembahasan tersebut yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari atau bermasyarakat, untuk bisa mengatasi atau mencegah gangguan tersebut.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
1. Gangguan Berbahasa
Gangguan berbahasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu:
a) Gangguan akibat faktor medis
Artinya, suatu gangguan baik yang diakibatkan adanya kelainan pada fungsi otak maupun kelainan pada alat-alat bicara.
b) Gangguan yang diakibatkan faktor lingkungan sosial
Artinya, lingkungan yang tidak alamiah manusia, misalnya merasa tersisih, ataupun terisolasi dari kehidupan alamiah manusia yang sewajarnya.
Menurut Shidarta ( 1984 ) secara medis gangguan berbahasa itu dapat dibedakan atas tiga golongan, yaitu:
1. Gangguan berbicara
2. Gangguan berbahasa
3. Gangguan berpikir
1. Gangguan Berbicara
a) Gangguan Mekanisme Berbicara
Mekanisme berbicara adalah suatu proses produksi ucapan (perkataan) oleh kegiatan terpadu dari pita suara, lidah, otot-otot yang membentuk rongga mulut serta kerongkongan dan paru-paru.
Gangguan Mekanisme berbicara ini diakibatkan oleh:
a. Gangguan akibat faktor pulmonal (paru-paru).
b. Gangguan akibat faktor laringal (pita suara)
c. Gangguan akibat faktor lingual (lidah)
d. Gangguan akibat faktor resonansi sumbing.
b) Gangguan Akibat Multifaktorial
Faktor penyebabnya :
a. Berbicara serampangan atau sembrono
b. Berbicara propulsif (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, lemas).
c. Berbicara mutis (mutisme), tidak berbicara sama sekali atau membisu dan sebagian memang sengaja tidak mau berbicara.
c) Gangguan Psikogenik
Antara lain sebagai berikut:
a. Berbicara manja
b. Berbicara kemayu
c. Berbicara gagap
d. Berbicara Latah
2. Gangguan Berbahasa
Berbahasa artinya berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Broca adalah gudang tempat penyimpanan sandi ekspresi kata-kata di otak. Wernicke adalah gudang tempat penyimpanan sandi komprehensi kata-kata.
Berikut ini adalah jenis-jenis afasia (kerusakan pada daerah broca dan wernicke) yaitu :
a. Afasia motorik kortikal yaitu hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan mengeluarkan perkataan.
b. Afasia motorik subkortikal yaitu hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu.
c. Afasia sensorik yaitu kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis.
3. Gangguan Berfikir
Gangguan dalam hal berfikir dapat berupa :
a. Pikun (dimensia)
b. Sisofrenik
c. Depresif
4. Gangguan Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan sosial adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya tidak normal dari lingkungan kehidupan sosial manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (eksperimen) bisa juga karena hidup bukan di dalam lingkungan manusia melainkan dipelihara oleh binatang. Seperti contoh :
a. Kasus Kamala
Kasus adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala
( Chaurad 1983 : 68 )
b. Kasus Genie
Seorang anak yang sejak berusia 20 bulan sampai 13 tahun 9 bulan secara sengaja oleh keluarganya hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat.
2. Sikap berbahasa ( Language Attitude )
Sikap berbahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001 : 197).
Triandis (1971) menyatakan bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada “sikap perilaku”.
Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu.
Sedangkan Lambert (1967) menyatakan sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu :
1. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengeni alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.
2. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik atau tidak baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka orang itu dianggap memiliki sikap positif.
3. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif dari suatu keadaan.
Garfin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa, yaitu :
a) Kesetiaan bahasa (language loyalty) mendorong suatu masyarakat untuk mempertahankan bahasanya dan mencegah pengaruh dari bahasa lain.
b) Kebanggaan bahasa (language pride) mendorong orang untuk mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
c) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Gangguan berbahasa dan sikap berbahasa keduanya berkaitan dengan fenomena kejiwaan, termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Hal ini biasanya tidak bisa diamati secara langsung. Dalam pengkajian antara gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa ada fenomena yang tidak dapat dipisahkan yakni manusia – lingkungan – budaya – soaial – psikologi (kejiwaan).
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Macam-macam Gangguan Berbahasa
Adapun macam-macam gangguan berbahasa diantaranya :
1. Gangguan Berbicara
Berbahasa merupakan proses mengeluarkan pikiran dan perasaan (dari otak) secara lisan, dalam bentuk kata-kata maupun kalimat-kalimat. Manusia yang normal fungsi otak dan alat bicaranya tentu dapat berbicara dengan baik, jadi jelas gangguan berbahasa itu terjadi pada orang yang fungsi otak dan alat bicaranya tidak baik. Secara garis besar ada 2 faktor gangguan berbahasa, yaitu faktor medis dan faktor lingkungan.
2. Gangguan Mekanisme Berbicara
1) Gangguan akibat faktor pulmonal (paru-paru), kekuatan bernafas yang kurang, volume suara kecil sekali dan terputus-putus.
2) Gangguan akibat faktor laringal (pita suara), suara serak atau hilang sama sekali.
3) Gangguan akibat faktor lingual (lidah), misalnya ketika sariawan, untuk mencegah lidah supaya tidak sakit ketika berbicara sehingga ada beberapa fonem yang diucapkan tidak jelas.
4) Gangguan akibat faktor resonansi, suara yang dihasilkan bersengau (bindeng), misalnya terjadi pada orang yang sumbing.
3. Gangguan Akibat Multifaktorial
Faktor penyebabnya :
d. Berbicara serampangan atau sembrono
e. Berbicara propulsif (kerusakan pada otak yang menyebabkan otot menjadi gemetar, kaku, lemas).
f. Berbicara mutis (mutisme), tidak berbicara sama sekali atau membisu dan sebagian memang sengaja tidak mau berbicara.
4. Gangguan Psikogenetik
1. Berbicara manja
2. Berbicara kemayu
3. Berbicara gagap
4. Berbicara latah
5. Gangguan Berbahasa
Berbahasa artinya berkomunikasi dengan menggunakan suatu bahasa. Proses belajar berbicara dan mengerti bahasa adalah proses serebral, yang berarti proses ekspresi verbal dan konverehensi auditorik itu dilaksanakan oleh sel-sel saraf otak yang disebut neuron. Broca adalah gudang tempat penyimpanan sandi ekspresi kata-kata di otak. Wernicke adalah gudang tempat penyimpanan sandi komprehensi kata-kata. Dan jenis-jenis afasia (kerusakan pada daerah broca dan wernicke) yaitu :
d. Afasia motorik kortikal yaitu hilangnya kemampuan untuk mengutarakan isi pikiran dengan mengeluarkan perkataan.
e. Afasia motorik subkortikal yaitu hubungan langsung antara pengertian dan ekspresi bahasa terganggu.
f. Afasia sensorik yaitu kehilangan pengertian bahasa lisan dan bahasa tulis.
6. Gangguan Berfikir
Gangguan dalam hal berfikir dapat berupa :
d. Pikun (dimensia)
e. Sisofrenik
f. Depresif
7. Gangguan Lingkungan Sosial
Yang dimaksud dengan akibat faktor lingkungan sosial adalah terasingnya seorang anak manusia yang aspek biologis bahasanya tidak normal dari lingkungan kehidupan sosial manusia. Keterasingannya bisa disebabkan karena diperlakukan dengan sengaja (eksperimen) bisa juga karena hidup bukan di dalam lingkungan manusia melainkan dipelihara oleh binatang.
Seperti contoh pada dua kasus, sebagai berikut :
a. Kasus Kemala
Kasus adanya anak manusia yang dipelihara oleh serigala
( Chauchard 1983 : 68 ). Karena hidup ditengah serigala ia sangat mirip dengan serigala. Ia berlari cepat sekali dengan menggunakan kedua kaki dan tangan, mengaum-ngaum, tidak dapat berbicara sepatah katapun serta tidak ada mimik emosi diwajahnya.
b. Kasus Gennie
Sejak berumur 20 bulan sampai 13 tahun 9 bulan, Gennie secara sengaja oleh keluargannya ( melakukan eksperimen) hidup terkucil dalam ruang yang sempit dan gelap dalam posisi duduk dan kaki terikat. Ketika ditemukan pada tahun 1970, Gennie berada dalam kondisi yng kurang terlibat secara sosial, primitive, terganggu secara emosional, serta tidak dapat berbahasa
( berbicara).
6.2 Sikap Berbahasa (Language Attitude)
Sikap berbahasa adalah posisi mental atau perasaan terhadap bahasa sendiri atau bahasa orang lain (Kridalaksana, 2001 : 197). Dalam bahasa Indonesia kata sikap mengacu pada bentuk tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerik-gerik, dan perbuatan atau tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian.
Sikap merupakan fenomena kejiwaan yang biasanya termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Sebagaimana halnya dengan sikap, sikap bahasa juga merupakan peristiwa kejiawaan sehingga tidak dapat diamati secara langsung. Sikap seseorang tidak selamanya tercermin dari perilaku.
Triandis (1971) menyatakan bahwa sikap adalah kesiapan bereaksi terhadap suatu keadaan atau kejadian yang dihadapi. Kesiapan ini dapat mengacu kepada “sikap perilaku”. Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan saraf yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang menyangkut sikap itu. Sedangkan Lambert (1967) menyatakan sikap itu terdiri dari tiga komponen, yaitu :
1. Komponen kognitif berhubungan dengan pengetahuan mengeni alam sekitar dan gagasan yang biasanya merupakan kategori yang dipergunakan dalam proses berpikir.
2. Komponen afektif menyangkut masalah penilaian baik atau tidak baik, suka atau tidak suka, terhadap sesuatu atau suatu keadaan, maka orang itu dianggap memiliki sikap positif.
3. Komponen konatif menyangkut perilaku atau perbuatan sebagai “putusan akhir” kesiapan reaktif dari suatu keadaan.
Garfin dan Mathiot (1968) merumuskan tiga ciri sikap bahasa, yaitu :
1. Kesetiaan bahasa (language loyalty) mendorong suatu masyarakat untuk mempertahankan bahasanya dan mencegah pengaruh dari bahasa lain.
2. Kebanggaan bahasa (language pride) mendorong orang untuk mengembangkan bahasanya dan menggunakan sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
3. Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm) yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use).
Jika ketiga ciri-ciri di atas sudah mulai tidak nampak pada diri seseorang atau sekelompok orang maka dianggap bahwa seseorang itu memiliki sikap bahasa negatif, selain itu sikap bahasa yang negatif dapat juga terjadi bila orang atau sekelompok orang itu tidak lagi memiliki rasa bangga terhadap bahasanya dan mengalihkannya kepada bahasa lain yang bukan miliknya.
Sikap negatif juga akan lebih terasa akibat-akibatnya apabila seseorang atau sekelompok orang tidak memiliki kesadaran akan adanya norma bahasa. Sikap tersebut nampak dalam tindak tuturnya. Mereka tidak merasa perlu untuk menggunakan bahasa secara cermat dan tertib mengikuti kaidah yang berlaku.
Mengacu pada sikap bahasa dalam masyarakat yang bilingual atau multilingual, terdapat dampak positif dan negatif bagi pembinaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah. Memang semakin meluasnya pemakaian bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah suatu hal yang positif. Tetapi dampak negatifnya seseorang sering mendapat hambatan psikologis dalam menggunakan bahasa daerahnya yang mengenal tingkatan bahasa, sering kali memaksa mereka terbalik-balik dalam menggunakan tutur antara bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Misalnya ada bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan dan bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan.
Contoh :
1. Bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan, adanya pemakaian akhiran “o” lihato = lihatlah.
2. Bahasa Indonesia yang keinggris-inggrisan. Pengucapan kata “becek” jadi “becheq”.
3. Bahasa Jawa yang keindonesia-indonesiaan, penggunaan akhiran –lah. Wis ta jadi wislah.
3.3 Hubungan Gangguan Berbahasa dengan Sikap Berbahasa
Sangatlah jelas bahwa hubungan antara gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa itu sangat erat karena bahasa digunakan oleh diri sendiri berhubungan dengan kinerja otak yang dikaji oleh ilmu psikolinguistik juga bahasa merupakan alat sebagai komunikasi di masyarakat sebagai ilmu sosial yang dikaji oleh sosiolinguistik. Meskipun telah kita ketahui bahwa bahasa itu rumit dan sulit untuk dikaji. Tetapi jelas manusia dan bahasa tidak dapat dipisahkan selain untuk mengenalkan jati diri bahasa diperlukan untuk bersosialisasi dengan individu lainnya. Berbahasa berarti menggunakan bahasa dan kerja otak serta kejiwaan seorang individu sangat berpengaruh terhadap nilai kebahasaannya dan sikap berbahasanya. Dalam sikap berbahasa individu atau seseorang dikatakan memiliki sikap positif dalam menggunakan bahasa/tindak tutur yaitu ada dari tanggapan positif yang diberikan oleh lawan bicaranya. Disini terjadi proses komunikasi yang baik serta pesan yang disampaikan juga tertuju dengan baik.
Gangguan berbahasa dan sikap berbahasa keduanya berkaitan dengan fenomena kejiwaan, termanifestasi dalam bentuk tindakan atau perilaku. Hal ini biasanya tidak bisa diamati secara langsung. Dalam pengkajian antara gangguan berbahasa dengan sikap berbahasa ada fenomena yang tidak dapat dipisahkan yakni manusia – lingkungan – budaya – soaial – psikologi (kejiwaan).
Seseorang yang memiliki gangguan dalam berbahasa terkesan tidak memiliki sikap berbahasa atau sikap bahasanya itu negatif. Negatif disini berarti seseorang itu mendapat respon yang tidak baik dari lawan berbicara dan ketiga ciri-ciri bahasanya tidak nampak. Kita dapat memberikan penilaian terhadap seseorang bagaimana sikap bahasa orang tersebut dilihat dari respon yang diberikan oleh lawan bicaranya.
Ketika kita melihat seseorang yang memiliki gangguan berbahasa seperti orang yang menderita afasia motorik kortikal sedang berbicara dengan orang yang normal maka proses komunikasi secara lisan akan sulit terjalin dengan baik karena penderita afasia motorik kortikal ini dia akan menggunakan tangannya sebagai alat peraga sedangkan seseorang yang tidak memiliki gangguan berbahasa belum tentu paham dengan gerakan, sehingga pesan tidak dapat disampaikan dengan baik. Tanggapan dari lawan bicaranya pun akan berkurang atau tidak ditanggapi sama sekali, inilah contoh dari pernyataan seseorang yang memiliki gangguan berbahasa itu memiliki sikap yang negatif.
Kita bisa lihat dari segi psikologi seseorang yang memiliki gangguan berbicara, dia akan menunjukkan sikap yang berbeda, terkesan lebih sering diam karena terjadi sindrom lemahnya rasa percaya diri, mereka terkesan pemalu, merasa dirinya tidak mendapat respon yang baik dari masyarakat.
BAB IV
PENUTUP
7.1 Simpulan
Gangguan berbahasa dan sikap berbahasa keduanya melibatkan posisi mental yang berhubungan dengan cara kerja otak yang menurun atau bahasa tidak dapat dikuasai dengan baik. Gangguan terhadap psikologi berbahasa tidak dapat dipisahkan dengan keadaan dan proses terbentuknya sikap berbahasa. Meski dikaji dengan dua bidang ilmu yang berbeda yakni sosiolinguistik dan psikolinguistik, namun keduanya mengkaji tentang penggunaan bahasa yang berhubungan dengan proses sosial. Yang mana bahasa digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi dengan individu yang lainnya karena manusia ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri dari makhluk sejenis yang lain. Bahasa akan menjembatani manusia untuk selalu berhubungan dan berkomunikasi
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Chaer, Leoni Agustina. 2004. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Harimukti Kridalaksana. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Mansoer, Pateda. 1990. Sosiolinguistik. Bandung: Angkasa.
Abdul Chaer. 2009. Psikolinguistik Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta.
0 komentar:
Posting Komentar